Our Awesome

Tins Gallery

Gallery UMKM

Gallery

Exclusive Gallery

Exclusive

Image

Kriya Pewter

Kriya Pewter adalah kerajinan yang menggunakan campuran logam lunak yang terdiri dari 85 sampai 99 persen Timah, dicampur dengan sekitar 5 sampai 10 persen Antimon, 2 persen Tembaga, Bismut, dan sering juga digunakan Perak sebagai campuran. Tembaga dan Antimon bertindak sebagai pengeras tetapi dapat diganti dengan Timah dalam kadar Timah yang lebih rendah. Pewter untuk pertama kali digunakan di Nusantara pada zaman Perunggu, sedangkan penggunaan potongan Timah pertama kali dalam catatan arkeologi ditemukan pada makam di Mesir kuno sekitar Tahun 1450 Sebelum Masehi.

Logam Timah sebagai logam utama untuk kriya Pewter dihasilkan dari pulau Bangka. Toponimi “Bangka” berasal dari kata dalam bahasa Sanksekerta “Wangka” yang berarti Timah. Ahli efigrafi Louis Charles Damais mengatakan, bahwa dalam kitab kesusasteraan India Milindapanca yang ditulis sekitar abad 1 Masehi dan Kitab Mahaniddesa yang ditulis sekitar abad 3 Masehi, menyebut nama pulau seperti Jawadwipa (pulau Jawa), Swarnabhumi (pulau Sumatera) dan Wangka (pulau Bangka). Pada sekitar abad 5 Masehi pulau Bangka sudah memiliki peradaban yang maju. Berdasarkan temuan arkeologis di Situs Kotakapur di pesisir Barat pulau Bangka ditemukan struktur benteng tanah, beberapa potongan pragmen arca Wisnu, pecahan keramik, sisa sisa Terak bekas pembakaran, potongan papan perahu, bekas demaga kuno serta beberapa struktur bangunan Candi yang tidak utuh lagi. Temuan Terak dan sisa pembakaran logam Timah di situs Kotakapur menunjukkan, bahwa biji Timah telah ditemukan dan dieksploitasi di pulau Bangka dalam jumlah yang terbatas untuk bahan pembuatan Pewter yang dikenal dengan Kebudayaan Perunggu atau Zaman Perunggu, yaitu kebudayaan yang masyarakatnya menggunakan peralatan kehidupan terbuat dari Perunggu. Kebudayaan perunggu atau zaman perunggu bukan merupakan budaya asli bangsa Indonesia. Zaman perunggu dikenal bangsa Indonesia dari masuknya pengaruh kebudayaan Dongson di daerah Tonkin Cina. Masuknya kebudayaan Dongson dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia, menunjukkan dengan jelas, bahwa telah terjadi hubungan yang erat antara pulau Bangka dengan daratan Asia.

Menurut para ahli sejarah seperti Prof. Soekmono, pembawa kebudayaan Dongson adalah sebangsa dengan pembawa kebudayaan Kapak Persegi pada masa neolithikum (zaman batu muda) yaitu bangsa Austronesia, mereka merupakan nenek moyang bangsa Indonesia yang datang pada gelombang kedua sekitar Tahun 500 Sebelum Masehi. Biji Timah merupakan bahan campuran untuk membuat barang-barang dari perunggu (perunggu merupakan campuran Tembaga dan Timah) dengan menggunakan teknik Setangkup (Bivalve) dan teknik cetakan lilin (à cire perdue).

Pada abad 7 Masehi Kotakapur di pulau Bangka menjadi salah satu Mandala (kota dagang) Kedatuan Sriwijaya. Salah seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor dari Sriwijaya, yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, Timah, ebony (kayu hitam), kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan, sementara itu menurut berita Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Sriwijaya pada masa itu adalah cengkeh, pala, kapulaga, pinang, kayu gaharu, kayu sapan, rempah-rempah, penyu, emas, perak, dan lada. Komoditas seperti penyu, kayu gaharu, kemenyan, rempah-rempah (lada), pinang dan Timah merupakan komoditas yang relatif banyak dihasilkan di pulau Bangka.

Timah di pulau Bangka mulai dieksploitasi secara besar-besaran dapat diketahui dari catatan sekitar Tahun 1667 ketika Timah dijadikan sebagai industri di Eropa termasuk industri Pewter. Diperkirakan Timah dari Bangka untuk pertama kalinya masuk pasaran Amsterdam (Sujitno, 1996:42) (Batavia, Tanggal 25 Januari 1667, Yang Mulia..., Tahun lalu, dst...., Sebagai balast kapal yang kembali pulang ke Negeri Belanda oleh mualim dipakai Timah Malaxse seberat 100.000 pon. Berkat penjelasan dari Utusan Kamar Dagang Amsterdam yang juga ahli mineral karena pernah membuat karya tulis tentang Timah Inggris, kami yakin bahwa Timah itu sangat berharga...dst). Catatan Andaya menyatakan keberadaan Timah di Bangka telah dikenal setidaknya sejak akhir abad ketujuh belas, dan meskipun tidak pernah diekspor dalam jumlah besar, itu tampaknya telah digunakan dalam pembuatan picis serta amunisi. Timah sudah dihargai sebagai pemberat di kapal menuju Eropa dan memiliki pasar yang bagus di India. Sebelum VOC belajar tentang deposito Timah Bangka, kapal-kapal Cina sudah berlayar membeli Timah. Kapal Palembang menuju Jawa juga memuat Timah seolah-olah sebagai pemberat, tetapi sebenarnya untuk penjualan di Batavia (Andaya, 1993:185). Oleh sebab itu pada Tahun 1709, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago telah memerintahkan orang-orang Melayu dan Cina untuk membayar upeti dalam bentuk Timah (Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, Vol. I, The Hague: Martinus Nijhoff, 1917, hlm. 35).

Bersamaan dengan mahalnya harga Timah di pasaran dunia, baik di Eropa untuk industri termasuk industry Pewter, Amunisi dan pembuatan Picis dan di daratan Cina untuk campuran mata uang Cina dan bahan pada Uang Kertas (Kim Ci) untuk persembahyangan agama Khonghucu, dimulainya eksplorasi besar-besaran terhadap biji Timah di sungai-sungai di pesisir Barat pulau Bangka sejak Timah ditemukan dalam deposit yang besar seperti sungai Bangkakota dan sungai Olim pada Tahun 1709 Masehi. Tidak hanya Tiga data Tahun 1709, 1710, 1711, penemuan Timah di Bangka, terdapat sejumlah versi bagaimana penemuan Timah di Bangka. Karena kandungan biji Timah mendekati permukaan tanah, Timah tidak sulit untuk ditemukan (Heidhues, 2008:9).

Teknik penambangan Timah pada masa itu sebagaimana dijelaskan (Heidhues, 2008:16) dilakukan dengan teknik Tebukalih (Toboalih). Penduduk asli menggali lubang kecil sedalam Enam kaki, terkadang dihubungkan dengan terowongan. Satu atau Dua orang pria bekerja di lobang dan terowongan, mengangkut tanah berisi bijih Timah di keranjang untuk dicuci dan dipisahkan di sungai terdekat. Penggalian atau pelubangan (sistem tebuk/tebok=tobo) dilakukan berpindah-pindah atau dialihkan (Melayu: “alih” berarti pindah atau geser, dalam dialek Bangka Selatan disebut “ale”) bila tidak dijumpai lagi Timah dalam jumlah atau deposit yang banyak. Di daerah Toboali, pada Tahun 1803 Masehi, seluruh penambangan Timah dikerjakan dengan metode pelubangan semacam ini oleh orang-orang asli Bangka (Lihat laporan Heynis, ANRI, Arsip Nasional Republik Indonesia, Bangka 21 B). Sejak awal ditemukan deposit, Timah ditambang dengan cara ini dan berlangsung berkisar 12 (Duabelas) tahun sampai Palembang di bawah Sultan Mahmud Badaruddin (Lange, 1850:16). Maksud Lange di sini adalah masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (Tahun 1724-1757 Masehi). Setelah masa itu Timah ditambang dengan teknik Kulit (teknologi yang dibawa orang Cina) dan teknik Kolong. Tekhnologi awal penambangan Timah dengan sistem pelubangan (tebuk/tebok/tobo+alih/ale) adalah kearifan lokal yang merupakan kekayaan intelektual masyarakat Bangka khususnya di distrik Toboali Bangka Selatan. Karena Timah yang dihasilkan diangkut ke Palembang dan kemudian baru dibawa ke Batavia dengan kapal-kapal angkut Palembang, maka dalam literatur-literatur terakhir abad 19 sering disebut dengan Timah Palembang yang dihasilkan melalui sistem atau teknik pelubangan yang disebut sumur Palembang (Palembang Putjes).

Pada masa akhir pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo, dalam wilayah yang luas meliputi Toboali, Nyeery (Nyireh), Ulim, Permissang, Banko-Kutto dan wilayah lainnya di sepanjang pantai Barat pulau Bangka (ke Selatan Kutto-Waringin), kegiatan pertambangan juga hampir tertutup dilakukan oleh penduduk asli (tekhnologi Tebok/toboalih/ale), kegiatan peleburan atau penyempurnaan (pemurnian) dari bijih Timah sedikit mengadopsi teknologi yang diperkenalkan oleh orang Cina, sementara dalam penambangan partai-partai kecil tidak mengggunakan metode atau teknologi yang biasa digunakan di bagian lain dari pulau (maksudnya tekhnologi Kulit dari orang-orang Cina di Bangka Barat dan Utara). Beberapa daerah terakhir yang disebutkan menuju ujung Selatan, masih sangat kaya akan kandungan bijih Timah (Horsfield, 1848:312). Berdasarkan catatan Lange meskipun cara dan pengolahan sederhana mereka lakukan, dengan hasil yang luar biasa, sehingga produksi Timah Tahun 1740 sudah sebesar 25.000 pikul (Lange, 1850:16).

Pada masa Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin (Tahun 1776-1803) mulailah diangkat jabatan-jabatan kepala pada orang Cina dengan pangkat kapitan, kemudian mulai dibentuknya kongsi-kongsi penambangan Timah serta diizinkannya masingmasing kongsi penambangan Timah menggunakan Pitis Timah sebagai alat pembayaran yang berlaku dalam Satu distrik. Kepala Kongsi dipanggil Tiko atau Taiko (PY:dage) yaitu saudara tua, nampaknya di bawah pengaruh Belanda abad 19, nama ini diubah menjadi Kapthai atau Kapitan (Heidhues, 2008:39). Picis Timah yang dibuat oleh kongsi dan berlaku pada Satu distrik dapat ditukarkan di masing-masing kongsi dengan uang Tembaga dan uang Perak yang berlaku umum di semua distrik. Pada koleksi Museum Timah Indonesia Pangkalpinang terdapat beberapa jenis uang picis kongsi yaitu: Token kongsi sungai An dan (Antan) Jebus, token kongsi Ma nao, Belo, token kongsi Tan pie, Tempilang, token kongsi Bing lang/Pin long, Pangkalpinang. Token kongsi terdiri dari salah satu permukaan dari picis kongsi bertuliskan akasara Cina yang menyatakan nama dari kongsi bersangkutan serta semboyan harapan, antara lain: nasib baik, subur, sejahtera dan sebagainya, dan permukaan yang lain bertuliskan huruf Arab. Di samping itu terdapat juga token picis kongsi untuk judi.

Pada masa setelah perang semesta rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Amir Tahun 1851 dan Bangka menjadi satu Keresidenan yang regelmatig dari seluruh keresidenan di Hindia Belanda. dalam suasana tenang, industry Pewter berkembang di pulau Bangka, setidaknya terdapat di Tiga distrik di pulau Bangka yaitu di Pangkalpinang, Mentok dan di Distrik Belinjoe..

(Editor : Mohammad Yusuf)

Pembuatan Pewter

Demonstrasi proses pembuatan gantungan kunci dari Pewter. Logam timah dilebur dengan menggunakan kompor gas, setelah dicampur dengan logam lainnya cairan timah ini dimasukkan kedalam cetakan yang sudah disediakan.

Image

Budi Pramono

Budi Pramono merupakan salah satu pengrajin Pewter yang ada di Bangka-Belitung, pensiunan Karyawan PT.Timah ini sejak tahun 1980-an telah menggeluti kerajinan Pewter dan usaha Pewternya yang diberinama Pangkal Pewter mempekerjakan beberapa pengrajin.

Image

Kapal Layar

Produk Kapal Layar merupakan kerajinan Pewter yang paling banyak dijadikan sebagai souvenir kenang-kenangan bagi pejabat Bangka-Belitung yang akan ditugaskan ditempat lain.

Kapal Layar merupakan kerajinan pewter yang sangat rumit, karena terdiri dari banyak bagian yang harus disatukan. Setiap bagiannya dicetak sendiri-sendiri dengan menggunakan cetakan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Itulah sebabnya mengapa harga produk ini relatif mahal.

Image

Pewter Lama

Pada sekitar tahun 1980-1990 an ketika belum ada produk piala dari plastik, piala dari Pewter merupakan produk yang paling dipilih sebagai penghargaan dalam sebuah turnamen atau kejuaraan.

PT Timah telah memfasilitasi pengrajin Pewter untuk menciptakan beragam produk Pewter, mulai dari piala, miniatur, tempat minum dan lain-lain

Pembuatan Pewter

Video Dokumenter yang menampilkan pengrajin Pewter di Pangkalpinang pada masa pendudukan Belanda.

Proses Menenun Kain

Proses pengerjaan kain tenun yang sangat rumit dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) menyebabkan harga kain tenun relatif mahal. Waktu pengerjaanya bahkan bisa mencapai 3 bulan untuk selembar kain, tergantung dengan kerumitan pola yang dikerjakan.

Bila kita cermati nenek moyang kita sejak dulu telah dapat menciptakan beragam motif hias yang sangat rumit dan indah pada bermacam kain tenun dari berbagai daerah di nusantara.

Image

Motif Ubur-ubur

Motif Ubur-ubur, dibuat tahun 1832 oleh Mas Ayu Inung.

(moy/sumber: Zainal Songket)

Image

Motif Bebek Bedecak

Motif Bebek Bedecak, dibuat tahun 1720 oleh Mas Ayu Cek Ya.

 

(moy/sumber: Zainal Songket)

Image

Kain cual Motif Ubur-ubur

Kain cual Motif Ubur-ubur

Motif ini menceritakan keindahan laut Bangka yang banyak tersebar terumbu karang dan ubur-ubur dibawah lautnya. Terumbu karang mempunyai filosofi sebagai tempat tinggal semua makhluk hidup dibawah laut, tempat berkembang biak dan rumah yang nyaman disana.

Hal ini sering dan seirama dengan ubur-ubur yang memberikan makna bahwa adanya kesejukan, keindahan di alam bawah laut.

Motif ini ditenun Mas Ayu Inung pada tahun 1832.

 

(moy/sumber : Zainal Songket)

Image

Kain cual motif Bebek Berdecak

Kain cual motif Bebek Berdecak atau disebut motif limar Mentok dibuat oleh Mas Ayu Cek Ya pada tahun 1720.

Motif ini menceritakan tentang fauna yang mana lebih banyak menceritakan bahwa sifat dari bebek itu sendiri.

Diketahui bahwa bebek merupakan fauna yang selalu bersama dan beriringan baik dalam mencari makan ataupun kembali ke kandang setiap sorenya.

Hal ini menciptakan kerukunan, kekeluargaan dan persatuan.

(moy: sumber : Zainal Songket)

Image

Tenun Cual

Kain Cual atau yang kerap disebut Tenun Cual adalah kain tenun tradisional khas Bangka Belitung. Dulu kain ini sering digunakan oleh kaum bangsawan keturunan Ence' Wan Abdul Haiyat di Kampung Petenon, pada abad ke-18.

Tenun Cual memiliki makna celupan awal pada benang yang akan diwarnai. Tenun Cual merupakan perpaduan antara teknik songket dan tenun ikat, namun yang menjadi ciri khasnya adalah susunan motif menggunakan teknik tenun ikat.

Motifnya pun beragam seperti susunan motif Bercorak Penuh atau yang disebut Penganten Bekecak (Pengantin Bersolek) dan motif Ruang Kosong yang disebut Jande Bekecak (Janda Bersolek).

(moy/sumber: dikutip dari https://kumparan.com/)