Our Awesome

History

Sejarah Timah

History

Image

Image

Image

Image

Image

Sejarah Timah

Selain dikaruniai pemandangan alam yang indah, Kepulauan Bangka Belitung juga menyimpan hasil bumi yang kaya. Kepulauan yang terletak di bagian timur Pulau Sumatera, tepatnya di dekat Provinsi Sumatera Selatan, ini dikenal sebagai satu-satunya penghasil timah di Indonesia. Di Bangka Belitung, selain pertanian, pertambangan timah juga merupakan sektor primer dalam struktur perekonomian masyarakat. Kegiatan penambangan timah di Belitung sudah ada sejak lama.

Read more

Sejarah Bangka

History

Image

Sejarah Bangka

SEKAK (Mapur, Lom, Belom, Ameng Sewang) Suku bangsa Sekak ini sering juga disebut orang Mapur, Lom atau Belom. Mereka sendiri Iebih suka menyebut diri sebagai Ameng Sewang, yang artinya sama dengan "orang laut". Nama Sekak diberikan oleh masyarakat Melayu sekitarnya. Menurut pengertian mereka kata "sekak" berarti "tidak mau bergaul" dan berkonotasi merendahkan. Orang Sekak termasuk Suku bangsa kecil yang agak terasing dari pergaulan dengan Suku bangsa lain. Mereka berdiam di beberapa tempat di pesisir Pulau Belitung dan pesisir utara Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Jumlah populasinya sekitar 1.000 jiwa (1986).

Di pesisir Bangka masyarakat ini umumnya hidup dari bertani di ladang secara berpindah-pindah, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan. Bahasanya boleh dikatakan sama dengan bahasa masyarakat Melayu Bangka di sekitarnya. Kelompok-kelompok mereka dipimpin oleh kepala-kepala adat setempat. Mereka kebanyakan masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Informasi dan data mengenai masyarakat dan budaya ini masih jarang terdapat. Pada masa kini, orang Sekak yang berdiam di pesisir Belitung telah hidup secara menetap di kampung-kampung yang dibuatkan oleh Dinas Sosial setempat. Namun sebagian besar masih lebih suka mengabiskan kehidupan sehari-harinya di tengah laut untuk menangkap ikan, kepiting, kerang, gamat (teripang), udang dan siput gonggong.

Ketergantungan hidup mereka kepada sumber daya laut melahirkan berbagai tradisi yang dilembari dengan keyakinan religi tertentu. Tradisi-tradisi tersebut merefleksikan sikap hidup yang dapat digolongkan sebagai arif lingkungan. Misalnya, mereka tidak pemah membuat sampah atau kotoran ke laut, tidak mcncuci periuk atau peralatan dapur lain secara langsung ke air laut, tidak mematikan puntung api atau membuang bara dan abu ke dalam laut, tidak mengambil karang atau mengganggu tempat-tempat di mana ikan-ikan suka berkumpul dan berkembang bak, sembarang mengambil barang-barang yang mengapung di atas laut. Menurut keyakinan mereka pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas dapat berakibat buruk bagi kegiatan mereka di laut Makhluk halus penghuni laut dapat tersinggung jika larangan-larangan tersebut sengaja dilanggar, sehingga dapat timbul gelombang besar atau badai dengan tiba-tiba menghambat perjalanan laut mereka.

(moy/sumber: Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia By Dr. Zulyani Hidayah)

Image

Prasasti Kotakapur adalah bukti tertulis tertua sejarah pulau Bangka, merupakan peninggalan Kedatuan Sriwijaya (Tahun 686 M). Prasasti terdiri atas Sepuluh baris kalimat, ditulis dengan aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno.

Kekaburan historisitas nama Sriwijaya sebagai kedatuan yang berkuasa di seluruh wilayah Nusantara pada abad 7 sampai 13 Masehi terkuak dari isi baris ke-2 “...manraksa yam kadatuan criwijaya kita...” berarti kedatuan Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya), pada baris ke-4 “...ya mulam datu cri wi....” berarti datu Sriwijaya (raja Sriwijaya), dan pada baris ke-10 “...yam mala criwijaya kaliwat...” berarti balla Sriwijaya (tentara Sriwijaya). Bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada prasasti menunjukkan, bahwa pada abad VII Masehi, pulau Bangka berperan dalam penyebaran awal bahasa Melayu Kuno, sebagai bahasa pengantar (lingua franca). Sebagian besar kosa kata dalam isi prasasti Kotakapur telah menunjukkan kosa kata seperti dalam bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia yang digunakan saat ini dan prasasti sudah sedikit menggunakan kosa kata Sanksekerta.

Image

Pada lokasi situs Kotakapur juga ditemukan berbagai tinggalan arkeologis berupa: struktur Benteng Tanah/benteng Kota Dua Lapis (abad VI Masehi); sisa struktur Candi Hindu sebagai pemuja Wisnu (Waisnawa); ditemukan fragmen arca-arca Wisnu bertangan Empat beratribut syangka dan potongan kaki (lebih tua dari abad VII Masehi); ditemukan Yoni dari batu; dan ditemukan terak logam yang menunjukkan Timah telah dimanfaatkan di pulau Bangka (budaya Perunggu); serta temuan pecahan keramik dari Cina Selatan masa dinasti Sung (abad 12-13 Masehi). Berdasarkan temuan arkeologi disimpulkan, bahwa pada sekitar abad VI Masehi, di pulau Bangka terdapat satu kekuasaan dengan peradaban yang maju (Elvian, 2011) dan berhubungan dengan mancanegara, hal ini diperkuat dengan pripih pada candi dan temuan prasasti Kotakapur II, pada baris keempat tertulis kata: “dham camwa dimaharatha”, maksud terjemahannya adalah “dhang camwa sebagai pahlawan”.