Our Awesome

Kain Tenun Cual

Kain Tenun Cual

People, Art and Culture

Image

Image

Kain Tenun Cual

Pada Tahun 1803 Masehi sultan Kesultanan Palembang Darussalam Muhammad Bahauddin
(masa pemerintahan Tahun 1776-1803 Masehi) digantikan oleh Raden Hasan bergelar Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II (masa pemerintahan 1803-1821 Masehi) dan kekuasaan atas pulau Bangka penguasaannya diserahkan kepada Abang Muhammad Tajib bergelar Tumenggung Kerta Wijaya (anak Abang Ismail bergelar Tumenggung Kerta Menggala). Dalam Semaian 2, Carita Bangka, Het Verhaal van Bangka Tekstuitgave Met Introductie en Addenda, E.P. Wieringa,1990, Vakgroup Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie Rijksuniversiteit te Leiden, halaman 119, dinyatakan ”...Tumenggung Kerta Wijaya dan di bawahnya satu saudaranya dari Tumenggung Kerta Menggala nama Abang Muhammad Saleh diangkat serta digelar rangga citra nindiata dan anak dari datuk Kumbang bernama abang Yunus diangkat serta digelar demang wirada perana, di bawahnya satu iparnya nama abang Muhammad menjadi jurutulis. Bersamaan dengan pengangkatan jabatan tumenggung diangkat juga oleh Sultan Palembang Darussalam Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II seorang depati di pulau Bangka yaitu Bahrin (putera Depati Karim atau Depati Anggur) sebagai penguasa di daerah Djeroek.

Pada tanggal 20 Mei 1812 Masehi, pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Robert Rollo Gillespie menguasai Kota Muntok dan kemudian memproklamirkan, bahwa Inggris berkuasa atas pulau Bangka serta mengubah nama pulau Bangka menjadi Duke of York’s Island dan nama Mentok diubah menjadi Minto untuk kehormatan bagi Sir G. Elliot Earl of Minto, seorang gubernur jenderal Inggris di India (hal ini yang menyebabkan kota ini bisa ditulis Muntok dan Mentok). Pada masa pemerintahan residen Inggris Mayor MH Court, jabatan tumenggung di pulau Bangka yang berkedudukan di Kota Muntok dihapuskan dan wilayah administrasi pemerintahan dan pertambangan di pulau Bangka dibagi atas tiga divisi yaitu pada bagian Utara pulau Bangka (northern division) terdiri atas 4 stocade, wilayah bagian Barat pulau Bangka (western division) terdiri atas 5 stocade dan terakhir wilayah bagian Selatan Timur pulau Bangka (south east division) yang meliputi hampir separuh pulau Bangka terdiri atas Pangkalpinang (stocade of Pangkal Penang), Sungaiselan (Godong Selan), Bangkakota (Old Settlement of Banko Kotlo), Koba (Koba), Paku (Pakoo), Permis (Permissang), Olim (Oolim), dan Toboali (stocade of Tooboo-alie) (Elvian, 2012: 64-65). Selanjutnya Pemerintah Kerajaan Inggris membagi pulau Bangka atas 4 distric, yaitu distrik Sungaibuluh berada di divisi Utara, distrik Pisang dan distrik Jeruk berada di divisi Barat dan distrik Pangkalpinang berada di distrik Tenggara.

Pemerintahan di Kota Minto (Muntok/Mentok) setelah dihapuskannya jabatan tumenggung kemudian diatur oleh residen Inggris Mayor MH Court yaitu, diserahkan kepada Abang Muhammad Saleh, bergelar rangga citra nindiata diberi wilayah kekuasaan atas Kampoeng Keranggan, kemudian kepada Abang Yunus bergelar demang wirada perana diberi wilayah kekuasaan atas Kampoeng Pemuhun dan Kampoeng Patemun (Kampung Teluk Rubiah), dan selanjutnya kepada Abang Muhammad yang menjadi jurutulis diberi wilayah kekuasaan atas Kampoeng Jiran-Peranakan dan Kampoeng Siantan (Kampung Tanjung), serta kepada Abang Abdul Raoef bin Abang Tawi (pemimpin orang-orang Muntok yang pindah ke Lingga dan Singkep) yang kemudian membantu Inggris dalam menaklukkan Palembang diberi kekuasaan atas Kampoeng Pekauman Dalam. Pada kampung-kampung di Kota Mentok inilah tumbuh dan berkembang tenunan kain Cual yang dikerjakan oleh perempuan perempuan Mentok.

Setelah masa usainya perlawanan rakyat Bangka melawan kolonial Belanda yang dipimpin Depati Amir Tahun 1851 Masehi dan pulau Bangka kemudian menjadi satu koloni Belanda yang regelmatig dari seluruh koloni Belanda di Hindia Belanda, maka pada Tahun 1865 Masehi pemerintah Hindia Belanda menjadikan pulau Bangka atas 10 distrik yaitu distrik Mentok, Jebus, Sungailiat, Merawang, Belinyu, Pangkalpinang, Kepulauan Lepar, Sungaiselan, Toboali, dan Koba. Masing-masing distrik di pulau Bangka masa ini dikepalai seorang administrateur district (berkebangsaan Belanda), dibantu oleh seorang demang (kepala distrik diangkat dari pribumi) dan di bawahnya beberapa orang kepala onderdistrict yang bergelar batin yang kemudian membawahkan beberapa kepala kampung (gegading) dan kepala dusun (lengan). Pada masa ini Kota Mentok sebagai tempat kedudukan Residen Bangka sangat terkenal karena berbagai kemajuannya. Perempuan-perempuan dalam Kota Mentok terutama yang tinggal di kampung-kampung seperti Kampung Pemuhun dan Kampung Patemun (sekarang Teluk Rubiah) pada masa itu pekerjaannya bertenun, membuat kain dan selendang dari sutra dan ada juga yang
dicampur dengan benang emas terutama untuk pakaian orang-orang perempuan. Kain tenun Mentok itu disebut dengan nama kain Cual. Kain ini kemudian diperdagangkan orang ke negeri lain seperti ke Palembang, pulau Belitung, Pontianak, Singapura dan pada bagian lain tanah melayu. Harga selembar kain Cual pada waktu itu berbentuk selendang berkisar paling murah f 25,- sampai f 100,-.

Menenun kain Cual, awalnya merupakan tradisi kekriyaan bangsawan di Mentok yang bergelar “Abang” dan “Yang”, terutama perempuan keturunan dari Ence' Wan Abdul Hayat (Lim Tau Kian). Pada sekitar abad 18 Masehi, tenun Cual merupakan salah satu kriya etnik nusantara yang memiliki fungsi religius, untuk upacara, kepentingan magis dan untuk fetish. Fungsi primer dari tenun Cual adalah sebagai pakaian kebesaran bangsawan di Bangka, pakaian pengantin atau upacara yang berhubungan dengan daur kehidupan (life cycle) dan pakaian pada hari-hari kebesaran Islam dan adat lainnya, sebagai hantaran pengantin ataupun sebagai mahar pada acara nyurung barang yang langsung menggambarkan status sosial (pangkat dan kedudukan) seseorang pada masa itu dan sebagai bahan pajangan di dinding untuk memperindah tampilan rumah serta menunjukkan status sosial penghuni rumah. Sebagai pusaka lama tenun Cual juga sering dijadikan “obat” untuk mengatasi penyakit tertentu pada diri manusia.

Cual sendiri berasal dari kata “celupan awal” pada benang yang akan diwarnai. Tenun Cual merupakan perpaduan antara teknik sungkit (songket) dan tenun ikat, namun yang menjadi ciri khasnya yang mendasar adalah pada susunan motif yang menggunakan teknik tenun ikat, hal inilah yang menjadikan tenun Cual sebagai kriya etnik Melayu Bangka dan membedakan dengan jenis tenunan dan songket dari etnis lainnya di nusantara. Jenis motif tenun Cual antara lain dengan susunan motif bercorak penuh (penganten bekecak), dan motif ruang kosong (jande bekecak), dari dua jenis motif tersebut terkandung makna simbolik dan filosofis yang mendalam bagi pemakai dan orang yang memandangnya. Kehalusan tenunan, tingkat kerumitan motif, ide garapan yang dipakai dan warna pada tenun Cual mengandung makna filosofi hidup, hasil kontemplasi perjalanan religi dan budaya penenunnya dan sebagai lambang identitas serta karakter budaya Melayu Bangka. Tenun Cual sangat terkenal karena tekstur kainnya yang begitu halus, adanya harmoni antara sungkit, ikat dan motif sehingga tidak ada sesuatu yang dominan dari yang lain, warna celupan
benangnya tidak berubah, dan ragam motif seakan timbul jika dipandang dari kejauhan sebagai simbol masyarakat Melayu Bangka yang rendah hati dan selalu menjaga marwah.

Produksi tenun Cual di pulau Bangka sempat terhenti dalam waktu relatif lama karena terputusnya pasokan bahan baku pada saat terjadi Perang Dunia Pertama di Eropa Tahun 1914 sampai 1918 Masehi. Harga sutra, benang emas dan lain-lain keperluan dalam menenun bukan saja tinggi harganya, tetapi hampir tidak ada yang menjual, baik di Kota Mentok maupun di Singapura. Pada sekitar Tahun 1990, Dinas Perindustrian Kota Pangkalpinang kembali menggalakkan kerajinan tenun Cual di pulau Bangka. Kelompok usaha kerajinan Cual saat ini masih terbatas pada anggota keluarga, saat ini terdapat sekitar 40 pengrajin Cual yang tersebar di pulau Bangka dan pulau Belitung termasuk di Kota Pangkalpinang dengan produksi dan kapasitas produksi yang masih terbatas baik dari segi kuantitas dan kualitas maupun dari sisi harga yang masih bervariasi serta relatif mahal. Saat ini pengguna tenun Cual pun hingga ke luar pulau Bangka, bahkan telah diperjualbelikan keseluruh penjuru dunia dan pengguna tenun cualpun tidak lagi terbatas pada bangsawan saja.

Sebagai salah satu potensi kepariwisataan, tradisi kekriyaan berbasis pada kekayaan alam dan budaya merupakan potensi yang harus dikembangkan dan salah satu upaya pengembangan tersebut adalah melalui pembentukan dan pengembangan sentra industri Cual. Melalui pengembangan yang terarah dan terpadu, diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat di dalam pengentasan kemiskinan sekaligus peningkatan kesejahteraan.

Kata „kriya? berasal dari kata dalam Bahasa Sanksekerta, dalam konteks kesenian hindu yang dialihkan ke dalam bahasa Jawa Kuno, berarti “pekerjaan, tindakan, khususnya pekerjaan yang berkenaan dengan upacara keagamaan”. Kekriyaan terkait dengan kebiasaan budaya dan aturan budaya masyarakat di suatu daerah, berhubungan dengan sejarah dan kehidupan pada masa lampau terutama kehidupan para bangsawan, benda-benda yang terkait dengan tradisi, upacara ritual, maupun seremonial. Kriya secara umum dipahami sebagai produk yang dikerjakan secara manual dan bersifat fungsional kontekstual (geokultural). Kriya menyatu dengan manusia dan eksistensinya. Produk kriya merupakan artefak dari kurun budaya tertentu, bukti dari suatu tingkatan peradaban, oleh karena itu produk kriya berkembang seirama dengan tuntutan perubahan sumber daya lingkungan, baik lingkungan alam, fisik, budaya, pangsa pasar, lokal maupun global.

Dalam masyarakat suku bangsa (etnic group) terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu berwujud ideal berupa ide atau gagasan, berwujud sistem sosial atau perikelakuan dan yang berwujud material berupa kebendaan. Salah satu kebudayaan material yang berkembang pesat saat ini adalah tradisi kekriyaan. Peran kekriyaan dalam kehidupan manusia erat kaitannya dengan kebiasaan budaya (cultural habits) dan aturan budaya (cultural law) komunitasnya. Tradisi ini beranjak dari kebutuhan primer, sebagai kelengkapan aktivitas religius, magis dan mistik, kemudian tradisi kekriyaan berkembang menjadi kebutuhan sekunder, namun dalam arti luas karya kriya sangat berarti dan memiliki makna dalam menata lingkungan yang lebih baik, bahkan untuk mewujudkan ekspresi estetis atau cita-cita spiritual yang mengandung nilai-nilai norma universal. Tradisi kekriyaan yang pada hakekatnya merupakan produk budaya material bermuatan estetis dalam perkembangannya mencakup dua jenis seni kriya, yakni seni kriya etnik nusantara dan seni kriya modern. Khusus untuk kriya etnik nusantara memiliki fungsi religius, untuk upacara, kepentingan magis dan untuk fetish. Sedangkan kriya modern yang lebih bersifat pragmatis bagi kepentingan hidup modern, dapat dikelompokkan antara lain dalam bentuk kriya kagunan (peralatan rumah tangga, peranti, perabotan, barang anyaman, gerabah dan tenun), dan kriya lengkapan (ornamen, asesoris, komponen bangunan, benda hias, benda seni dan lain-lain).

Hampir setiap daerah yang berada di wilayah nusantara sebenarnya memiliki kekayaan tradisi kekriyaan yang sangat dipengaruhi oleh letak geografis, kondisi alam, karakteristik masyarakat sesuai etnisitas dengan warna budayanya masing-masing. Demikian pula faktor sejarah pada kenyataannya telah mempengaruhi tradisi kekriyaan di suatu daerah, yang berbeda satu sama lain dan hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah tersebut dengan segala keunikan karya kriyanya sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom). Tema dan simbol dalam kekriyaan sebagai karya seni pekembangannya semakin kompleks sesuai dengan kompleksitas persoalan yang ada di masyarakat, dan ini pun berdampak terhadap perkembangan estetik, contoh adanya beberapa kosakarya populer, seperti tenun ikat, batik, tenun cual, gerabah, mebel ukir, tenun serat alami, batuaji, tosanaji, bahkan berbagai benda hias yang dapat mencerminkan citra kedaerahan. Sangat disayangkan, bahwa hampir sebagian besar potensi ini belum tertangani secara maksimal, mulai dari penggalian, pemanfaatan sampai pengembangannya, untuk itulah sebagai sebuah potensi yang terkait dengan komponen produk kepariwisataan dalam wujudnya sebagai cinderamata, kriya etnik dapat mengisi sekaligus memanfaatkan peluang yang sangat strategis ini.

Kepariwisataan, tidak hanya menyangkut industri jasa (service industry), tetapi juga menyangkut barang, artinya bila kita berbicara kepariwisataan yang sangat multidimensional dan multisektor serta interdependensi ini aktivitasnya bergerak dari hulu sampai ke hilir. Pada masing-masing daerah biasanya memiliki wujud kebudayaan material yang sesungguhnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan sekaligus peningkatan kesejahteraan. Banyak peluang kepariwisataan yang bersentuhan langsung dengan kebudayaan daerah dan saat ini tampaknya belum digali secara maksimal seperti tenun Cual dari pulau Bangka.

Pengembangan Industri Cual sebagai sebuah proses mempertahankan tradisi dan sekaligus untuk kepentingan ekonomi sangat dipengaruhi oleh Empat hal mendasar yaitu; Pertama, adanya pengaruh pasar yang menuntut kualitas dan jenis karya yang sesuai dengan keinginan konsumen, terutama dari sisi harga; Kedua merupakan akibat dari tumbuhnya industri kepariwisataan yang secara tidak langsung membuka peluang untuk memproduksi aneka cinderamata (souvenir) berbasis pada tenun Cual, serta dilatarbelakangi pula terbukanya lapangan kerja baru; Ketiga adanya indikator yang bersifat kemudahan, yakni adanya piranti maupun bahan baku hasil pabrik dengan berbagai pilihan; dan Keempat terkait dengan adanya kebijakan untuk mengorientasikan aset budaya sebagai bagian strategis dalam menghadapi persaingan global.

Dari Empat hal di atas semakin jelas, bahwa pengembangan tradisi kekriyaan tenun Cual saat ini sudah berada di tengah persaingan global, untuk itu pengembangan secara terarah dan terpadu dalam satu Sentra Industri Rakyat semakin mendesak dilakukan. Secara faktual
produk-produk cinderamata kriya dari negara tetangga yang membanjiri pasaran dan diproduksi secara massal menjadi ancaman bagi produk lokal karena tampilan visual yang menarik, baik dari segi desain maupun bahan baku yang dijual dengan harga relatif lebih murah dengan kualitas yang tidak kalah bersaing.

Ada beberapa kendala bagi pengembangan industri Cual yang saat ini harus segera diatasi yaitu; kurangnya minat, keahlian dan ketrampilan dari masyarakat untuk menjadi pengrajin sehingga dibutuhkan pelatihan yang berkelanjutan, terbatasnya produksi karena keterbatasan faktor-faktor produksi, kurangnya modal, mahalnya hasil produksi sehingga mengurangi daya beli dan jumlah pembeli, pemasaran belum ditata dengan baik, kurangnya jumlah keanekaragaman produk, belum terbentuknya kluster pengembangan secara terpadu. Untuk mengatasi kendala ini perlu perhatian dan kepedulian seluruh stakeholder. Berikut ini beberapa motif tenun Cual beserta dengan makna filosofis motif Flora dan Fauna khas Bangka dan motif yang berasal dari bangsawan Abang dan Yang dari Mentok Bangka:

1. Motif Lebah Hutan (Apis dorsata) dan Bunga Pelawan (Tristania mainganyi) Di hutan pulau Bangka banyak terdapat lebah yang menghasilkan madu berkualitas dengan rasa sesuai dengan bunga pohon yang dihisap oleh lebah. Jenis-jenis rasa madu tersebut misalnya bisa terasa pahit, karena lebah mengisap bunga atau kembang dari pohon Pelawan (Tristania mainganyi). Lebah Hutan pulau Bangka (Apis dorsata) dan Bunga pohon Pelawan (Tristania mainganyi) dijadikan sebagai ide garapan salah satu motif tenun Cual Bangka perpaduan antara motif Flora dan Fauna khas Bangka karena mengandung makna filosofi hidup, hasil kontemplasi perjalanan religi dan budaya penenunnya dan sebagai lambang identitas serta karakter budaya Melayu Bangka.

Motif Lebah (Fauna) mengandung filosofi bahwa dalam kehidupan manusia harus saling bekerjasama, bersatu dan saling membantu, agar kokoh dan sejahtera, bermanfaat bagi masyarakat, patuh kepada pemimpin, hidup hemat dan bersahaja. Sedangkan Motif Bunga Pelawan (Flora) mengandung makna bahwa sesuatu yang dirasakan tidak enak (pahit) belum tentu buruk tapi justru bermafaat (untuk kesehatan), keindahan warna bunga bermakna keluhuran dan keanggunan pemakai kain, serta pohon Pelawan yang disarat bermakna kepatuhan pada hukum dan aturan serta menghargai hak orang lain dalam kehidupan, Pasal 25 Undang-undang Sindang Mardika yang berlaku untuk wilayah pulau Bangka dan pulau Belitung dinyatakan bahwa: “Jikalau orang mencuri madu Sunggau atau Sialang, maka lebih dahulu disuruh bayar dengan harga taksiran sebanyak pendapatan perusahaan itu. Kemudian didenda dari 10 sampai 55 ringgit. Denda itu separoh untuk kepalanya dan separoh untuk yang empunya madu”.

2. Motif Ketuyut dan Ketakung atau Kantung Semar (Nepenthes sp) Di hutan pulau Bangka terdapat tanaman yang disebut dengan Ketuyut atau Kantung Semar (Nepenthes sp) dan pohon atau akarnya disebut Ketakung yang biasanya sangat bermanfaat bagi masyarakat Bangka untuk dijadikan tali pengikat yang kuat (Tali Ketakung) dengan berbagai fungsi termasuk mengikat jerejak atau lantai rumah panggung orang Bangka.

Tanaman ini memiliki kemampuan insektivora, diartikan sebagai tanaman pemakan serangga. Awalnya Kantong Semar memancing serangga dengan cara mengeluarkan aroma dari kelenjar nektar di kantongnya, supaya mendekati bibir kantong. Setelah itu serangga akan tergelincir dan masuk ke dalam kantong dan terjebak dalam cairan kantong. Cairan asam berfungsi mencabik-cabik tubuh serangga menjadi molekul protein. Ketuyut dan Ketakung atau kantung Semar (Nepenthes sp ) dijadikan sebagai ide garapan salah satu motif tenun Cual Bangka dari Flora khas Bangka karena mengandung makna filosofi hidup, hasil kontemplasi perjalanan religi dan budaya penenunnya dan sebagai lambang identitas serta karakter budaya Melayu Bangka.

Motif Ketuyut dan Ketakung atau Kantung Semar (motif Flora) mengandung makna filosofis bahwa manusia harus bekerja keras dan bekerja cerdas dalam kehidupan, memiliki semangat pantang menyerah terutama dalam menghadapi bahtera kehidupan. Ketuyut juga bermakna filosofi, bahwa manusia yang baik adalah manusia yang banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Kemudian makna filosofis dari motif Ketuyut ini adalah bahwa manusia harus berhati-hati dalam kehidupan, jangan mudah percaya dan terpedaya oleh rayuan yang manis yang membuat kita terlena dan terjerumus kepada kehancuran.

3. Bunga Peony dengan nama Kembang China Masyarakat Bangka Belitung menyebut Bunga Peony dengan nama Kembang China. Bunga Peony melambangkan cinta, kebahagiaan, kemakmuran dan nasib baik. Selain itu melambangkan kehormatan dan kepribadian yang berkelas. Penggunaan bunga Peony dalam kain Cual memberi kesan kepada pemakainya kehormatan dan kepribadian yang berkelas namun tetap memancarkan cinta kasih sesama manusia. Taburan Bunga Peony dalam selembar kain Cual ini seolah-olah memberi pesan kita untuk menjaga toleransi yang selama ini tercipta di Bumi Serumpun Sebalai. Motif Kembang China sering dipadankan dengan Burung Hong, Kupukupu, Bebek dan Kembang Seroja.

4. Kembang Kenango Kembang Kenango merupakan salah satu bunga yang sering digunakan dalam kegiatan masyarakat Bangka Belitung sebagai pengharum kegiatan upacara adat. Bunga Kenango memiliki makna capailah segala sesuatu yang telah dicapai orang terdahulu sebagai contoh atau suri teladan bagi kita dalam menjalani kehidupan.

5. Naga Naga adalah hewan mitologi China yang dianggap memiliki kedudukan tinggi sebagai pelindung dalam kepercayaan orang China, tidak terkecuali di Bangka Belitung. Penggunaan motif hewan mitos ini memiliki makna bahwa hidup adalah perjuangan untuk sebuah kehormatan dan melindungi yang lemah.

6. Sumping Sumping adalah sejenis perhiasan yang dikenakan pada telinga. Sumping biasanya berupa ukiran yang ditatah dengan bentuk menyerupai sayap burung atau sulur helai daun. Simbol penggunaan Sumping Garuda dalam Kain Cual memiliki makna keindahan yang berkarakter, dengan harapan setiap pemakai kain ini muncul karakter kesucian, anggun nan menawan.

7. Bunga Teratai Orang akan menganggap bunga Teratai sebagai bunga yang tidak berharga dan kotor, yang tidak pantas untuk diraih karena demikian kotornya tempat ia hidup. Akan tetapi, bertolak belakang dengan kenyataannya, bunga teratai tetap tampil dengan keanggunan bunganya yang sangat menawan bagi yang melihatnya. Dia hidup penuh keindahan dan kebersihan tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor. Betapapun kotornya tempat dia hidup, tapi keindahannya tetap terjaga dengan baik bahkan menambah keindahan pula bagi lingkungan di sekitarnya.

8. Garuda Garuda merupakan hewan mitologi dalam kepercayaan Hindu dan digunakan dalam motif kain Cual melambangkan pribadi yang kuat dan berani dalam membela kebenaran.

9. Kembang Kecubung Penggunaan kembang Kecubung mengingatkan jangan mudah percaya pada penampilan yang menarik atau memukau. Dibalik itu ada sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan.

10. Burung Hong Burung Hong adalah hewan mitologi China merupakan gambaran metafora simbol dari sifat utama manusia. Kepala adalah kebajikan, sayapnya adalah tanggung jawab, punggungnya adalah perbuatan baik, dadanya adalah kemanusiaan, dan perutnya adalah sifat terpercaya. Phoenix pun menjadi simbol dalam pelbagai sendi daur hidup manusia. Phoenix dan Naga merupakan simbol istri dan suami, lambang permaisuri dan kaisar.

11. Bebek Bebek adalah binatang penyabar, hewan yang sangat mampu bersosialisasi tidak memandang umur, jabatan, atau asal usul mereka dalam satu kelompok yang bagaikan peleton pasukan. Meskipun Bebek adalah hewan dengan tingkat kecerdasan tidak melebihi seekor Anjing yang mudah dilatih, Bebek ternyata masih mempunyai naluri untuk tanggap dengan lingkungannya dan untuk bertahan hidup serta saling menyayangi. Dalam kehidupan kita harus disiplin, bekerja keras dan taat aturan. Seperti Bebek yang jalan beriringan dan teratur, tetap giat mencari makan walaupun harus berkubang lumpur.

12. Kupu-kupu Kupu-kupu adalah simbol kesempurnaan hidup. Kupu-kupu adalah keindahan, dengan semua corak warnanya, serta bentuknya yang simetris dan seimbang. Tak banyak orang yang tau bahwa manusia juga memiliki siklus hidup yang sama dengan Kupu-kupu. Ada kelahiran, ada pertumbuhan yang dikuasai nafsu dan keegoisan, ada kematian sementara, kemudian kebangkitan yang mengagumkan. Kebanyakan orang tak mencapai bentuk sempurnanya, kecuali orang-orang yang pernah masuk ke Kastil Kupu-kupu.

13. Bunga Cempaka Bunga Cempaka bermakna memiliki sikap penuh tanggung jawab, dan juga mampu mengayomi para pengikutnya dengan teladan yang ditunjukkan. Karakteristik yang menonjol adalah sikap yang Flamboyant dan kemampuannya menjadi pengayom. Pemimpin dalam kelompok ini akan berdiri lebih tinggi, lebih kuat dan lebih harum daripada orang yang dipimpinnya.kelebihan itu membuat para pengikutnya meletakkan kepercayaan harapan di pundaknya.

14. Kembang Gajah Pada semak belukar di pulau Bangka, banyak tumbuh sejenis tumbuhan pokok renek yang disebut dengan Kembang Gajah, Malu-malu, Memalu, Rumput Rimau, Semalu atau sering disebut Putri Malu dan dalam bahasa latin disebut mimosa pudica. Tanaman perdu pendek anggota suku polong-polongan ini mudah dikenal karena daun-daunnya yang dapat secara cepat menutup/layu dengan sendirinya saat disentuh atau memiliki kemampuan dalam melakukan gerak seismonasti (tigmonasti), yaitu jika daun tanaman disentuh, maka daun akan mengatupkan anak-anak daunnya.Gerakan menguncup tanaman berfungsi untuk melindungi diri dari serangan hewan herbivora (pemakan tumbuhan) di sekitarnya. Makna filosofis motif tenun cual Kembang Gajah adalah bahwa yang orang yang mengenakan busana motif Kembang Gajah adalah orang yang pandai menjaga diri, melindungi diri dari hal-hal yang buruk atau negatif dalam tindak tanduk dan perbuatan kesehariannya, selalu introspeksi segala tindakan dan perbuatannya, sehingga selalu sadar terhadap kekurangan diri yang harus ia perbaiki serta memiliki pendirian yang kuat sebagaimanan akar Kembang Gajah.

(Editor : Mohammad Yusuf)

(moy/sumber : Dato’ Akhmad Elvian, DPMP)