Our Awesome

Alat Musik

Alat Musik

People, Art and Culture

Image

Image

Image

Alat Musik

Menelisik ciri fisik dan non fisik orang Darat atau orang Gunung sebagai salah satu etnic group pribumi Bangka (Bangkanese) dapat disimpulkan bahwa etnic group ini berasal darigelombang kedua pesebaran bangsa Austronesia atau Deutro Melayu (Melayu Muda). Bangsa inimenyebar ke Asia Tenggara seiring dengan pesebaran kebudayaan zaman logam sekitar Tahun 500 sebelum Masehi. Bangsa Deutro Melayu memiliki peradaban yang maju dalam bidang astronomi, pelayaran, bercocok tanam, tekhnologi perundagian serta kesenian.

Ciri fisik berupa temuan arkeologis terak (sisa pembakaran) logam dan peripih yang berisi perhiasan emas sebagai hasil karya tekhnologi perundagian di candi situs Kotakapur Bangka sekitar abad VI Masehi mempertegas, bahwa bangsa Deutro Melayu juga menyebar ke pulau Bangka dan menjadi asal muasal orang Darat pribumi Bangka, sedangkan ciri non fisik orang Darat atau orang Gunung dapat diketahui melalui warisan budaya tak benda (intangible) seperti tradisi, adat istiadat, bahasa, kesenian dan budaya. Sebagaimana tradisi asal nenek moyangnya yang pandai bercocok tanam dan astronomi, orang Darat atau orang Gunung pulau Bangka umumnya hidup dari berladang berpindah atau berume dan mengolah ladang. Ciri non fisik orang Darat tampak pada ciri literer penggunaan kata “darat”, misalnya tradisi Lempah darat, sayur darat, berladang atau berume Padi darat, mengkonsumsi Ikan Darat, dan berkesenian Campak Darat.

Dalam diskripsinya tentang rumah orang Darat atau orang Gunung, Franz Epp, dalam catatan bukunya yang berjudul Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg: J.C.B.Mohr, 1852 halaman 175, menuliskan: “Die wände der vorkammer sind mit einigen hirschgeweih verziert un mit waffen. (“Dinding ruang depan rumah dihiasi dengan beberapa tanduk Rusa dan beberapa senjata”), dan pada kalimat selanjutnya ditulis: “Nicht selten Sieht man auch Saiteninstrumente in solchen wohnungen,... (“tidak jarang orang melihat juga alat musik petik senar di rumah tersebut....”).

Dr. Franz Epp, yang pernah berkunjung ke Bangka menjelaskan cukup detil tentang rumah orang Darat atau orang Gunung, bahwa pada rumah orang Darat terdapat Tiga bagian kamar atau ruangan yaitu, ruang depan atau ruang tamu, ruang untuk kamar dan ruangan dapur. Pada ruang depan atau ruang tamu rumah orang Darat terdapat beberapa tanduk Rusa dan beberapa senjata serta juga sering ditemukan alat musik petik senar. Pada penjelasan tentang alat musik, Epp tidak menyebut secara terinci apa nama alat musik yang selalu ada di tiap rumah orang Darat, tetapi hanya menyebutnya dengan alat musik petik senar. Kemungkinan besar penamaan alat musik petik senar tersebut dengan penamaan Dambus, diberikan setelah orang Darat pribumi Bangka banyak yang memeluk agama Islam (disebut orang Selam dan pengikut Muhammad). Dinamakannya alat musik petik senar tersebut kemudian oleh masyarakat Bangka dengan sebutan Dambus terutama setelah mendapat pengaruh penamaan alat musik irama padang pasir yang disebut Gambus.

Dambus adalah salah satu bentuk kesenian yang unik dari masyarakat pribumi Bangka (Bangkanese) orang Darat. Keunikan Dambus karena memiliki pengertian yang sangat kompleks. Dambus dapat diartikan sebagai satu bentuk kesenian, dapat diartikan sebagai lagu dan tarian serta diartikan juga sebagai nama alat musik. Keunikan Dambus semakin sempurna dilihat dari bentuk fisiknya yang mencerminkan simbol hewan atau binatang Rusa (cervus equimus) atau Kijang (muntiacus muntjak). Kontruksi bentuk fisik Dambus terdiri atas bagian ekor, perut dan badan, leher, bagian kepala dan kuping hewan Rusa atau Kijang.

Bentuk fisik alat musik sebagai simbol binatang atau hewan jarang dijumpai pada alat musik tradisional lainnya di Nusantara. Kebanyakan alat musik tradisional di Nusantara umumnya justru menggunakan organ yang ada pada hewan dan tumbuhan sebagai bahan utama dalam pembuatannya. Alat musik Dambus di samping berbentuk hewan atau binatang, pembuatannya juga menggunakan bahan-bahan alami dari lingkungannya seperti tumbuhan dan hewan.

Menilik bentuk fisik alat musik Dambus yang menggambarkan hewan atau binatang, menunjukkan bahwa kesenian Dambus telah berkembang dengan pesat pada masyarakat pribumi Bangka orang Darat, atau dapat ditafsirkan sebagai salah satu bentuk kesenian pra Islam di pulau Bangka. Dalam ajaran Islam sangat dilarang adanya pembuatan sesuatu yang mirip patung atau berhala sebagaimana bentuk alat musik Dambus.

Pembuatan alat musik Dambus dilakukan dengan mitos spiritual yang tinggi antara lain ditandai dengan jenis kayu yang digunakan harus dari jenis kayu pilihan dan keras. Bilah-bilah kayu untuk bagian Kuping Dambus konon diambil dari jenis kayu dan hutan yang berbeda serta dipisahkan oleh aik tumbak. Kayu pada bagian ekor Dambus terbuat dari kayu Cendana atau Bidara Cina. Sementara kulit yang digunakan sebagai penutup bagian perut Dambus biasanya terbuat dari kulit Monyet agar menghasilkan kualitas suara yang baik. Nilai-nilai dalam tradisi animisme dan dinamisme sebagai sistem religi masyarakat tampak jelas dan kental sekali pada tata cara pembuatan alat musik Dambus.

Bentuk alat musik Dambus dibuat dengan simbol hewan Rusa atau Kijang dilakukan bukan karena hewan ini tergolong hewan mistis akan tetapi dilakukan karena hewan ini sangat dicintai orang Bangka dan hewan ini berfungsi penting dalam kehidupan orang Darat pribumi Bangka. Rusa atau Kijang dalam kehidupan dan tradisi masyarakat petani peladang yang berume merupakan sumber pangan utama di samping hasil panen dari ladang.

Dalam tradisi Ngetep Nasik Baru, atau ada juga yang menyebutnya dengan tradisi Ngembaruk, yaitu proses menyiapkan makanan dari hasil panen pertama yang disebut nasi baru putik hari pertama, sebagai lauk pauk utama biasanya berupa ikan Darat dan hasil belapon atau berasuk (berburu menggunakan perangkap mirip lapon/sarang laba-laba dan menggunakan anjing) seperti daging Pelanduk, daging Napo, daging Kijang dan daging Rusa.

Semangat mitos spiritual juga tampak pada saat sebelum memasang lapun. Lokasi yang tepat harus ditemukan dulu yaitu dengan mencari pelalen atau bekas jalan atau jejak Pelanduk, Kijang atau Rusa dan biasanya sebelum pergi berburu ketua kelompok belapun bertanya dulu kepada seorang dukon yang dianggap memiliki pengetahuan tentang aktivitas perburuan, misalnya tentang waktu dan hari baik untuk berburu (pengetahuan ketiko), arah atau lokasi hewan buruan dan pilihan hutan yang akan mereka jelajahi dalam mencari hewan buruan. setelah mendapat petunjuk dari dukon rombongan berangkat menuju hutan yang ditunjuk.

Kesenian dan tradisi orang Darat pribumi Bangka di atas melekat dengan kokoh dalam masyarakat dan sebagai aspek yang penting bagi kesempurnaan masyarakat dan budaya (Yusuf dkk, 1995/1996:3). Selanjutnya ditambahkan oleh Yusuf dkk, bahwa keragaman kesenian tradisional dari masing-masing unsur kebudayaan amat ditentukan dari cara bagaimana kebudayaan tersebut merespon dan mencitrakan lingkungan sebagai bagian dari pencitraan lingkungan yang tergolong aktif (Yusuf dkk, 1995/1996:8). Dua hal di atas merupakan daya preservatif sehingga Dambus masih tetap eksis bertahan hingga sekarang. Apalagi nanti dilakukan berbagai macam usaha progresif untuk pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan kesenian Dambus, misalnya dengan cara memasukkannya kedalam salah satu materi kurikulum daerah (peminatan).

Alat musik Dambus menggunakan tiga nada, setiap nada terdiri dari dua buah tali senar yang biasa digunakan untuk memancing (senar pancing). Susunan nada Dambus adalah; tali 1 = F, tali 2 = C dan tali 3 = G. Tali 3 (G) adalah nada paling rendah. Sebagai alat melodis, Dambus hampir dapat dipakai dalam setiap jenis musik tradisional Bangka yang dimainkan dalam bentuk nada dan syair yang bernuansa penyambutan, penghormatan, peringatan, helatan, syukuran, khitanan, perayaan upacara, percintaan atau dalam bentuk nuansa keagamaan.

Tari dan musik Dambus saat ini tidak hanya dilakukan pada saat bulan purnama tiba sambil melepas lelah setelah bekerja seharian di ume atau ladang akan tetapi sudah berkembang dan dilakukan pada acara-acara yang sifatnya sakral, peseudo sakral maupun profan. Penari Dambus berdendang dalam bentuk pantun yang menggambarkan sukaria, kadang-kadang juga tentang kesedihan. Alat musik pengiring di samping Dambus adalah 2 buah gendang, 1 buah gong dan 1 buah tamborin. Setelah masuknya agama Islam, tari Dambus ditarikan berpasangan dengan kostum teluk belanga, baju kurung panjang, kebaya panjang, kain songket dan selendang sehingga jelas sekali marwahnya, sedangkan jenis pantun yang digunakan dalam dendang sudah bercirikan keislaman tidak lagi berisi tentang hal-hal yang berbau animisme dan dinamisme.

Di dalam kesenian Dambus juga selalu dimasukkan syair-syair berupa bait pantun. Gladys Andrews Fleming mengatakan dalam bukunya yang berjudul Creative Rhitmic Movement, ”bahwa lagu tari adalah kelengkapan gerakan, merangsang dan memberikan berbagai irama. Dalam hal ini irama, lagu dan gerak bersama-sama memikat satu sama lain”. Tari-tarian di pulau Bangka selalu diikuti oleh lagu dari bait-bait syair-syair pantun untuk menghidupkan tarian. Kadangkala penari terangsang oleh nyanyian dan lagu dari si penyanyi secara perorangan maupun bersama-sama.

 

(moy/sumber : Dato’ Akhmad Elvian, DPMP)