Our Awesome

Masyarakat dan Budaya

Masyarakat dan Budaya

People, Art and Culture

Image

Image

Image

Image

Image

Image

Masyarakat dan Budaya

Berdasarkan kitab Mahaniddesa yang ditulis sekitar abad III Masehi, diketahui toponim pulau Bangka berasal dari kata bahasa Sanksekerta “wangka” yang berarti Timah. Penduduk yang mendiami pulau Bangka awalnya berasal dari gelombang kedua penyebaran bangsa Austronesia yang disebut bangsa Deutro Melayu (Melayu Muda). Bangsa ini menyebar ke Asia Tenggara pada zaman logam, kira-kira Tahun 1500-500 Sebelum Masehi. Bangsa Deutro Melayu memiliki peradaban yang maju seperti pengetahuan tentang astronomi, pelayaran dan tekhnologi bercocok tanam. Persebaran Deutro Melayu beserta peradabannya di pulau Bangka dan pulau-pulau sekitarnya kemudian menjadi penduduk pribumi (Bangkanese) dan terbagi atas dua etnic group yaitu orang Darat atau orang Gunung (hill people) dengan budaya berbasis darat (land base culture) dan orang Sekak atau orang Laut (sea dweller) dengan budaya berbasis laut atau bahari (sea base culture).

Orang Darat atau orang Gunung yang memiliki pengetahuan tekhnologi bercocok tanam umumnya hidup dari berladang berpindah atau berume, mengolah ladang, di samping ditanam padi juga umbi-umbian, pengumpul hasil hutan, berburu binatang di hutan, menangkap ikan di sungai, menebang kayu, membuat arang, mengangkut Timah atau menjadi pemikul barang. Kemudian kaum perempuan orang Darat atau orang Gunung bekerja menjual pakaian dari hasil menenun, buah-buahan dan makanan kecil untuk keperluan pekerja-pekerja tambang Timah di parit penambangan, sering juga mereka membuat aneka macam kriya yang berfungsi untuk peralatan rumah tangga, dan perempuan Bangka orang Darat juga bekerja di ladang Ume, terutama pada saat menanam Padi (nugal dan mene) dan pada saat memanen padi. Pola pemukiman orang Darat terdiri atas 10 hingga 40 bubung pondok ume dibangun sesuai arah mata angin dan membentuk/berhimpun menjadi kampung. Pondok ume (panggung Pangkul) merupakan karakter hunian yang berakar kuat pada masyarakat Bangka. Sementara itu karakteristik orang Darat atau orang Gunung didiskripsikan secara singkat oleh Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka: “The character of the Orang Goonoongs, or natives of Banca, may be expressed in a few Words. They are an honest, simple, tractable, and obedient people; in personal appearance much more attractive than the same description of people at Palembang” (Court, 1821:214), maksudnya: karakter Orang Goonoongs (orang Gunung), atau penduduk asli pulau Bangka, dapat diekspresikan dalam beberapa kata. Mereka adalah orang yang jujur, sederhana, penurut, dan patuh; dalam penampilan pribadi jauh lebih menarik daripada orang yang sama di Palembang. Bentuk pemukiman penduduk di pulau Bangka pada awal masuknya dominasi asing kulit putih, baik bangsa Inggris maupun bangsa Belanda, dapat dipelajari sedikit dari pemukiman penduduk pribumi Bangka orang Darat atau orang Gunung yang ada di kampung-kampung di pulau Bangka, seperti yang didiskripsikan oleh residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court. Pemukiman penduduk asli umumnya dibentuk bujur sangkar, rumah Batin, atau kepala kampung, berada di pusat, maksudnya berada di posisi tengah, dan seluruh sisi kampung dibatasi oleh pagar atau benteng baik benteng tanah maupun kayu. Kampung merupakan pemukiman yang nyaman dan rapi, meskipun kecil, dan umumnya rumah mengangkat beberapa kaki dari tanah (maksudnya rumah panggung). Orang-orang kampung karena merupakan bagian dari masyarakat yang tinggal di pulau, mereka cenderung, memiliki semangat dan kemampuan untuk mempertahankan diri dari terobosan (serbuan) bajak laut (Court, 1821:203).

Budaya Orang Darat atau orang Gunung tidak terlepas dari penghidupannya yang bertani/berkebun dan berladang. Besao atau bekerjasama saling tulong, membentuk organisasi sosial tradisional untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan yang berat secara bersama sama adalah karakteristik kehidupan Orang Darat atau Orang Gunung. Ekologi hutan atau rimba pulau Bangka yang berat mengharuskan orang Darat pribumi Bangka bekerjasama dalam organisasi sosial tradisional dalam kelompok besao atau saling tulong. Untuk menjaga Ladang Ume, kampung, sungai, gunung dan hutan sebagai sumber kehidupannya, masyarakat melakukan ritual Taber. Sehabis pelaksanaan panen Padi di Ladang atau Ume dirayakan masyarakat dengan Ngembaruk (makan nasi baru hasil panen petik pertama yang disebut beras darat atau beras mirah) melalui kegiatan Nganggung. Konsepsi awal Nganggung adalah mengangkat sesuatu yang agung atau mulia dari atas pondok atau rumah panggung atau tempat yang agung. Sedulang Cerak Sedulang Ketan (satu dulang berisi nasi dengan lauk pauknya dan satu dulang ketan berisi aneka macam kue yang terbuat dari Ketan) adalah wujud kebersamaan dari masyarakat kampung di pulau Bangka yang masih dilestarikan hingga sekarang. Pada saat perayaan panen Padi, untuk mengatasi kejenuhan bekerja seharian di Ladang Ume, biasanya pada malam hari diselingi dengan hiburan kesenian Dambus, muda mudi pun berpantun dan menari Campak sebagai tari pergaulan.

Sementara itu penduduk pribumi Bangka lainnya adalah orang Laut. Di samping berasal dari bangsa Deutro Melayu, menurut Leonard Andaya, penyebaran orang Laut terjadi pada masa akhir garis keturunan dinasti Paramesyawara yang berasal dari bukit Siguntang (Andaya, 1975:160,189). Menurut E. P. Wieringa, orang Laut pribumi Bangka adalah bekas prajurit panglima Syarah dari kesultanan Johor yang berkuasa di Bangkakota dan tidak kembali ke Johor serta menetap di pesisir pulau Bangka (Wieringa, 1990:66). Orang Laut pribumi Bangka disebut dengan sebutan orang Sekak/Sekah. Ada berapa etimologi kenapa mereka disebut orang Sekak. Istilah “sekak” diduga berasal dari istilah bahasa Melayu “pekak” yang berarti hampir tuli atau“jelinger”, karena orang Sekak/Sekah sering menyelam ke dalam laut untuk mencari Timun Laut atau Teripang/Gamat dan hewan laut lainnya. Pengertian lain, istilah Sekak berasal dari istilah Bahasa Melayu “cekak” bermakna tinggi dan gagah, sama maknanya seperti pada istilah Cekak dalam pakaian/busana teluk/keluk Belanga pada masyarakat di pulau Bangka (Elvian, 2016:108). Tinggi dan gagah karena kehidupan orang Sekak yang berani mengarungi lautan dengan perau/perahu yang sederhana (perahu gobang) beratap kajang.

Sumber penghidupan orang Sekak yang memiliki pengetahuan tentang astronomi dan pelayaran tentu saja berasal dari laut, hidupnya menetap di perahu/perau (jung) mengembara dari pulau ke pulau, selat, teluk, ceruk, sungai, muara dan sekat serta singgah untuk sementara waktu di pesisir pulau-pulau kecil. Satu perahu/perau atau jung biasanya ditempati satu keluarga inti dan mengelompok (bergerombol) 4 hingga 10 perahu/perau atau jung. Pekerjaan orang Laut yang dominan adalah mencari Ikan, Duyung, Kimak, Teripang/Gamat atau Timun Laut, Kerang-Kerangan dan agar-agar (rumput laut). Hasil-hasil laut tersebut kemudian mereka tukarkan (barter) dengan beras darat yang dihasilkan oleh orang Darat pribumi Bangka dan barang-barang kelontong serta besi dari penduduk Melayu dan orangorang Cina. Untuk menjaga keselamatan dan sebagai rasa syukur atas rezeki yang diberikan penguasa laut, setiap tahunnya orang Laut atau orang Sekak pribumi Bangka merayakan ritual adat Muang Pathung atau Buang Jong dan awalnya upacara pada malam harinya mereka menghibur diri dengan berkesenian Campak Dalung. Pada awalnya terdapat beberapa kelompok atau gerombolan yang dipimpin batin Sekak di pulau Bangka yaitu; kelompok pulau Lepar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti pulau Tinggi, pulau Leat, pulau Burung, dengan situs upacara adatnya di daerah Kumbung, kelompok pulau-pulau kecil di muka muara sungai Kurau pada pesisir Timur pulau Bangka seperti pulau Semujur, pulau Panjang, pulau Gusung Asam dan pulau Ketawai dengan pusat situsnya di pulau Semujur, kelompok pulau-pulau kecil di Teluk Kelabat seperti pulau Biri, pulau Kambing, pulau Nanas, pulau Punai, pulau Burung, pulau Kemudi, dengan pusat situsnya di Tanjung Ru. Di distrik Belinju pada masa Hindia Belanda malah terdapat under distric Pandji-Sekak. Berdasarkan Map of the Island of Banka Compiled from Remarks and Materials Collected during a Journey Through the Island Annexed to a Report on the same and Addressed to the honourable Thomas Stamford Raffles, orang Laut Pribumi Bangka atau orang Sekak, banyak juga mendiami wilayah stocade of Seka di Distrik Sungaibuluh (Soongie-Boolo Distric) Jebus, dan bila dilihat dari mata pencaharian hidup orang Laut salahsatunya berburu hewan Duyung, maka kemungkinan besar mereka mendiami kawasan Tanjong Dugong (Duyung) yang terletak di sisi Utara Distrik Sungaibuluh Jebus. Sedangkan berdasarkan penelitian Iwabuchi, ada 5 kelompok orang Sekak dan dikenal di sekitar Kepulauan Bangka Belitung yaitu kelompok Teluk Kelabat, kelompok pulau Semujur, kelompok Lepar Pongok, kelompok Tanjung Pandan, dan kelompok Blantu Manggar (Iwabuchi, 2013:3,4). Dalam konteks sejarah orang Laut atau orang Sekak secara berkelompok dipimpin oleh seorang kepala rakyat yang disebut Batin Sekak. Kelompok atau gerombolan orang Sekak juga memiliki pemimpin dalam tatanan masyarakatnya. Orang Sekak juga menggunakan julukan Batin, sama seperti julukan bagi pemimpin orang Darat (Horsfield, 1848:323-33).

Orang Darat dan orang Laut penduduk pribumi pulau Bangka dan pulau-pulau kecil sekitarnya adalah orang Melayu (Deutro Melayu). Ghazali Shafie mengatakan, bahwa yang dimaksud penduduk pribumi yaitu penduduk prazaman kolonial jenis manusia pribumi di gugusan kepulauan Malaya atau dalam bahasa Inggris ”The Malay Archipelago”. Wilayah ini termasuklah bumiputera dari Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan India Timur (East Indies) yang sekarang digelar Indonesia dan pulau-pulau yang sekarang digelar Philipines (Shafie, 1995:26). Tentu saja yang dimaksud oleh Ghazali Shafie tentang penduduk pribumi adalah termasuk manusia pribumi yang mendiami pulau Bangka dan pulau-pulau kecil sekitarnya yang sudah ada sejak prazaman kolonial yaitu penduduk Deutro Melayu atau penduduk Melayu Muda. Pengertian kata Deutro Melayu semakin diperkuat, jika merujuk pada 10 baris isi prasasti Kotakapur pulau Bangka yang ditulis menggunakan aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno, dipahat pada wulan maichaka cakawarsatita 608 atau bulan April-Mei 686 Masehi, berisi peringatan, kutukan, perlindungan dan ancaman atau sebagai konstitusi (undang-undang), jelas sekali, bahwa isi prasasti ditujukan kepada penduduk pulau Bangka waktu itu agar dapat dibaca, dimengerti dan dipatuhi yaitu ditujukan untuk orang pribumi Bangka (Deutro Melayu) yang berbahasa Melayu Kuno (Elvian, 2011:74).

Pada Tahun 1803, J. Van Den Bogaart seorang pegawai Pemerintah Kolonial Belanda mengunjungi pulau Bangka dan mendiskripsikan, bahwa ada empat etnic group atau group masyarakat yang mendiami pulau Bangka (Heidhues, 1992:87). Pada waktu itu tinggal di pulau Bangka yaitu, orang-orang Cina, orang Melayu termasuk di dalamnya etnis lain dari berbagai pulau di Nusantara, Hill People sering disebut orang Gunung atau orang Darat, dan Sea Dweller disebut orang Laut. Horsfield sebagaimana dikutip Heidhues pada Tahun 1813 mencatat, bahwa dimasa itu orang Darat atau orang Gunung dan orang Laut masih sedikit dipengaruhi oleh Islam. Ini mungkin yang menjadikan alasan J. Van Den Bogaart tidak menggolongkan orang Darat dan orang Laut sebagai orang Melayu (Elvian, 2010:71). Orang Sekak dan orang Darat yang sudah masuk Islam sering disebut “orang Selam” dan disebut umat Nabi Muhammad serta digolongkan sebagai orang Melayu, sedangkan yang tidak beragama Islam menyandang sebutan “orang Lom”, yang bermakna ”lom (belum) masuk Islam” dan disebut setengah Melayu. Penyebutan setengah Melayu karena “Sang Senake” sebagai nenek moyang orang Darat atau orang Gunung dianggap sebagai saudara Nabi Muhammad. Pemisahan antara orang lom dan orang Melayu dinyatakan dalam “setengah saudara kandung”, lebih dekat hubungan keturunan antara orang Melayu dengan lom, dibandingkan dengan orang Cina (Parasian, dkk, 2006:29). Penjajah Inggris dan Belanda menurut hasil penelitian para ahlinya di pulau bangka, seperti J. Van Den Bogaart dan Horsfield membuat kebijakan sistematis yang hanya menganggap orang-orang atau penduduk pulau Bangka yang beragama Islam saja sebagai orang Melayu. Orang Darat dan orang Laut serta orang Cina yang masuk Islam mereka sebut “orang Selam” dan yang belum memeluk Islam mereka sebut “orang Lom”. Sebutan Ini dilakukan penjajah dalam konteks memecah belah persatuan.

Group masyarakat berikutnya adalah orang-orang Cina. Secara resmi mereka sengaja didatangkan ke pulau Bangka pada masa Kesultanan Palembang Darussalam diperintah Sultan Mahmud Badarudin I Jayo Wikramo (memerintah pada 1724-1757 Masehi) dan masa Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (memerintah pada 1757-1776 Masehi). Sultan mendatangkan pekerja-pekerja Cina untuk menambang Timah guna meningkatkan produksi Timah di pulau Bangka. Pekerja tambang dari Cina didatangkan oleh sultan Palembang, mengingat penduduk pribumi Bangka terutama orang Darat lebih terkonsentrasi pada kehidupan berladang atau berume serta orang Laut dengan kehidupan di laut, pulau-pulau kecil dan di pesisir pantai. Sejak masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo mulailah berdatangan orang-orang Cina dari Siam, Malaka, Malaysia dan dari Cina Selatan ke pulau Bangka. Kebanyakan mereka berasal dari suku Hakka (Khek) dan Hokkian (Hoklo) dari Provinsi Guang Xi. Karena keahlian dari orang-orang Cina di bidang pertambangan Timah, maka produksi Timah dari pulau Bangka kemudian terus meningkat. Pada Tahun 1740 produksi Timah dari pulau Bangka mencapai sekitar 25.000 pikul, harga 1(satu) pikul kemudian dibeli Sultan Palembang Darussalam dengan harga sekitar 6-8 ringgit.

Kebijakan mendatangkan pekerja dari daratan Cina (lebih sering disebut kuli pertambangan) ke pulau Bangka, kemudian terus dilanjutkan pada masa kekuasaan Inggris dan masa kekuasaan Hindia Belanda. Pekerja tambang yang hendak membuka satu tambang Timah pada masa itu harus membentuk satu kongsi (kung-sze) pertambangan lebih dulu. Setiap kongsi biasanya terdiri dari Empat sampai Lima pemilik saham. Salah seorang di antara pemilik saham kemudian dipilih menjadi kepala tambang atau kepala parit, sering juga disebut dengan kepala kongsi dan dalam bahasa Cina Bangka sering dipanggil “paritheeuw” (berasal dari kata bahasa Melayu “parit” dan kata bahasa Cina Bangka (hakka) “tou” yang berarti kepala). Kepala tambang berperan ganda, di samping mengurus rumah tangga tambang juga menjadi perantara antara kongsi tambang dan staf perusahaan. Kepala tambang menerima barang-barang kebutuhan dan uang untuk keperluan anggota kongsinya dari staf perusahaan dan kemudian bertanggungjawab untuk mendistribusikannya. Sebaliknya kepala tambang wajib menyerahkan Timah yang dihasilkan oleh tambangnya kepada staf perusahaan dengan harga yang telah ditetapkan. Dalam menjalankan tugasnya kepala tambang dibantu oleh sekretaris atau dalam bahasa Cina hakka disebut dengan “lo foen soi foe”.

Perkembangan dan populasi pekerja tambang Timah dari Cina di pulau Bangka berkembang dengan sangat pesat, pada Tahun 1816 terdapat sekitar 2.528 orang pekerja Timah di pulau Bangka. Berdasarkan catatan sejarah pada Tahun 1848 jumlah penduduk etnis Cina di pulau Bangka sudah berjumlah sekitar 10.052 jiwa. Jumlah ini hampir meliputi Seperempat dari jumlah penduduk pulau Bangka pada masa itu yang berjumlah sekitar 41.246 jiwa. Penduduk pulau Bangka pada masa itu tersebar dan tinggal di 482 kampung. Penduduk etnis Cina terbesar pada waktu itu adalah yang berdomisili di distrik Belinyu dengan jumlah sebesar 2.270 jiwa (Epp, 1852:209). Etnis Cina kemudian terus berkembang dengan pesat di pulau Bangka, misalnya di distrik Pangkalpinang. Berdasarkan sensus penduduk (volksteling) yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1920, terdapat sekitar 15.666 orang etnis Cina dan merupakan 68,9 persen dari seluruh penduduk di distrik Pangkalpinang pada waktu itu (Elvian, 2009:55). Salah satu bukti banyaknya keberadaan etnis Cina di pulau Bangka adalah luas dan banyaknya makam orang-orang Cina di Pulau Bangka dan yang terbesar dapat dilihat pada pemakaman Cina Sentosa Pangkalpinang. Selanjutnya keberadaan orang Cina di pulau Bangka ditandai dengan banyaknya kelenteng dalam ukuran besar dan kecil yang tersebar di tiap perkampungan, banyaknya kampung-kampung yang toponiminya menggunakan bahasa Hakka, berkembangnya aneka jenis makanan, kesenian dan budaya etnis Cina di pulau Bangka seperti Ceng Beng, Cit Ngiat Pan, Kongian, dan Cap Go Meh.

Group masyarakat terakhir di pulau Bangka adalah orang Melayu yang berasal dari Johor Siantan. Orang Melayu adalah gelombang pendatang yang kemudian menetap di pulau Bangka. Pada Tahun 1733, Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo berangkat dari Johor Siantan kembali ke Palembang beserta dengan keluarganya. Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo memperistri Baniah (Zamnah) yang kemudian bergelar Mas Ajoe Ratoe, anak dari Encek’wan Abdul Djabar bin Encek’wan Abdul Hayat bangsawan dari Johor Siantan. Encek’wan Abdul Djabar karena menjadi mertua Sultan Palembang Darussalam Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo kemudian ditabalkan dengan gelar Datuk Mertua Dalam. Sultan Palembang kemudian membuat aturan tidak boleh seseorang di luar keturunan Sultan Palembang Darussalam menikah dengan perempuan asal keturunan Encek’wan Abdul Djabar bin Encek’wan Abdul Hayat. Untuk itu dibuatlah gelar kebangsawanan di pulau Bangka yang membedakan dengan gelar bangsawan di Johor Siantan dan gelar bangsawan di Kesultanan Palembang Darussalam. Encek’wan adalah gelar bangsawan di Siantan yang berarti “tuan bangsawan”, untuk membedakan dengan gelar bangsawan tersebut, di pulau Bangka dibuat gelar “Abang” (untuk laki-laki) dan “Yang” (untuk perempuan). Peranan bangsawan Melayu sebagai keluarga dan kerabat Sultan Palembang Darussalam di pulau Bangka lebih kental di bidang perdagangan, bidang pemerintahan, dalam pembinaan agama Islam dan pembinaan adat istiadat. Salah satu peninggalan budaya dari orang Melayu adalah kriya kagunan Tenun Kain Cual dan beraneka macam jenis kue dan makanan Melayu.

Besarnya peranan dan pengaruh orang-orang Melayu (Melajen) di pulau Bangka salah satunya disebabkan karena hak penguasaan dan pengaturan pertambangan Timah di pulau Bangka baik di bagian Utara pulau dan di bagian Selatan pulau Bangka, sejak awal sudah diserahkan sepenuhnya oleh sultan Kesultanan Palembang Darussalam kepada orang Melayu dari Siantan yaitu kepada Wan Akub dan Wan Seren, salah satu keluarga dari Wan Abdul Jabar (datuk Hakim atau datuk Mertua Dalam) yang menjadi mertua sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (Tahun 1724-1757). Kekuasaan pengaturan Timah di Bangka kemudian diwariskan pula oleh Wan Seren kepada puteranya Wan Adji atau Tuk Adji yang kemudian diangkat menjadi Rangga atau Keranggan sebagai wakil sultan Kesultanan Palembang Darussalam di pulau Bangka. Jabatan Rangga atau Keranggan ini sama tingginya dengan jabatan Menteri Rangga atau Keranggan yang ada di Kesultanan Palembang Darussalam. Besarnya kekuasaan Wan Seren hampir di seluruh pulau Bangka, terlihat dalam hal mendatangkan pekerja-pekerja tambang Timah orang Cina dari berbagai wilayah seperti dari Siam, Kamboja, Johor dan Siantan.

Dalam buku Semaian 2 Carita BangkaHet Verhaal Van Bangka Tekstuitgave Met Introductie En Addenda (Wieringa, 1990:90,91), sebagai tanda pengangkatan Rangga atau Keranggan oleh sultan Palembang, Ia dikaruniai Satu kupiah emas, Satu keris, Empat tombak dan Satu tepak, tanda menjadi kepala di tanah Bangka. Selanjutnya sultan memanggil segala batin dan batin pesirah di tanah Bangka serta menentukan setidaknya ada Sepuluh kekuasaan yang diberikan kepada Rangga Usman atau Datuk Adji yang meliputi; kekuasaan memutuskan perkara agama sampai pada perkara mati, mengangkat jabatan kadhi dan khatib, memutuskan perkara adat orang Melayu, mengelola parit Timah dan Timah Tiban yang harus diserahkan ke sultan, membuka parit penambanganTimah, mendatangkan pekerja tambang Timah, memutuskan perkara adat Bangka sebelum disampaikan ke sultan, kewajiban melapor kepada sultan setiap Satu atau Tiga tahun atau bisa lebih cepat, mengatur ketentuan perkawinan keturunan “Abang dan Yang” sesuai ketentuan yang berlaku, dan memiliki hak istimewa untuk dapat menghadap langsung kepada sultan.

Berdasarkan catatan sejarah, pada Tahun 1848 penduduk pulau Bangka dari empat etnic group tersebut telah berjumlah sekitar 41.246 jiwa, tersebar di Sembilan distrik (Mentok, Jebus, Belinyu, Sungailiat, Merawang, Pangkalpinang, Toboali, Koba, dan Sungaiselan) dan mendiami 482 kampung. Dari jumlah tersebut terdapat sekitar 10.052 orang Cina, 4.903 orang Melayu dan sebanyak 26.291 orang Bangka asli (Bakar, 1969:71). Empat group masyarakat yakni orang Darat dan orang Laut atau orang pribumi pulau Bangka, orang Cina dan orang Melayu kemudian berinteraksi serta berkembang sehingga membentuk budaya Bangka dan mereka kemudian disebut dengan sebutan orang Bangka.

Masyarakat pulau Bangka dipersatukan oleh satu wilayah masyarakat hukum adat terestrial, yaitu hukum adat yang berdasarkan pada pertalian tempat tinggal atau daerah. Oleh seorang antropolog Belanda Cornelis van Vollenhoven dalam karyanya Het Ontdekking van Adatrecht, Orientatie in het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1913) dan Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië (Hukum Adat Hindia Belanda) disebut dengan daerah hukum adat Bangka Belitung dan merupakan salah satu dari 19 lingkungan hukum adat yang ada di Nusantara yang berbeda dari tradisi adat kaum pendatang (Vreemde Oosterlingen) yaitu kaum Timur Asing, seperti suku Arab, Tionghoa, dan India). Pada masa pulau Bangka di bawah pengaruh Kesultanan Banten yang berpusat di Bangkakota, oleh Bupati Nusantara dan Panembahan Serpu, adat istiadat di pulau Bangka seperti buyung pemali atau buyung singgul, pengangkat, pelirang basah, pelirang kering, singgul, pemandian kesarangan, tembung laku dan penguat, diperkuat menjadi hukum adat bagi masyarakat. Dengan berlakunya hukum adat di masyarakat akan tercipta keteraturan hidup di masyarakat.

Buyung pemali atau buyung singgul adalah ketentuan jikalau satu orang main sundal dengan perempuan yang harus nikah tetapi pangkatan mak sampai di atas atau ke bawah atau sebab beraku-akuan, maka kena hukuman tiga bahagian dari empat kepada kepalanya dan satu bagian dari empat dibagi kepada orang banyak di kampung menjadi penawar, baru itu perempuan sama laki-laki itu boleh berkawin.

Pengangkat adalah ketentuan jikalau orang sudah main sundal sama lain orang punya bini sebab itu sudah jadi terang, maka itu laki-laki kena pengangkat dari 72 sampai 148 satu bahagian dari empat dapat kepada kepalanya. Tetapi jikalau itu perempuan dihukumkan menurut laki yang baru, maka kepalanya tidak dapat bagian melainkan dapat kepada yang punya bini dan lagi itu perempuan tidak boleh dapat satu apa harta dari lakinya melainkan jikalau lakinya suka memberi dengan sukanya dan pikul segala utang laki-laki yang lama melainkan jikalau bercerai sebab lakinya buang dibagi dua segala harta dan segala piutang.

Pelirang basah adalah ketentuan seperti laki-laki bermain sundal dengan perempuan yang harus nikah sampai jadi bunting, maka dia orang tidak mau berkawin, maka didenda kepada siapa yang tidak mau berkawin dari 16 sampai 26 dapat kepalanya. Tetapi jikalau perempuan mau berkawin itu laki-laki tidak mau, maka itu denda dapat kepada perempuan tetapi boleh lepas denda yang tersebut jikalau dia berkawin keduanya dengan sukanya melainkan bayar rupiah kepada kepalanya tetapi jikalau ia berkawin itu dengan dipaksa, maka tidak boleh hilang denda yang tersebut tadi dendanya separuh dapat kepada perempuan dan separuh kepada kepalanya itu pun jikalau itu perempuan suka dengan tidak dipaksa tetapi jikalau kemudian dengan dipaksa semuanya dapat kepada kepalanya, sedangkan pelirang kering jikalau satu orang sudah keluar suara kepada orang punya anak-bini atau kepada orang bujang dengan perkataan mau kepadanya dengan hal kerja yang keji, maka kena denda 3 sampai 12 kepada yang mendakwa dapat tetapi jikalau anak atau bini kepalanya didenda dari 12 sampai 24.

Singgul adalah ketentuan jikalau satu orang masuk di dalam rumah perempuan dengan tidak buat satu kejahatan tempo ibu bapaknya, sanak saudaranya tidak di rumah, maka didenda 4 sampai 6 rupiah. Demikian lagi orang datang di rumah orang dengan tidak permisi yang empunya rumah, lantas berbaring tiarap di dalam itu rumah dan juga kena denda 4 sampai 6 terkadang yang empunya rumah kena juga dia tahu itu orang baru datang belum lagi pergi di balai maka dia berani terima itu orang di dalam rumah.

Pemandian kesarangan adalah ketentuan jikalau satu laki-laki pergi di tempat mandi di kampung atau di luar kampung tempoh dekat itu air tidak berteriak, maka sebab itu dia ketemu dengan perempuan mandi bertelanjang kena denda 6 sampai 12 kepada yang mendakwa tetapi jikalau ada satu tanda yang itu laki-laki sudah berteriak, ada bekas dia berhenti di luar pemandian, maka yaitu lepas dari denda yang tersebut.

Tembung laku adalah ketentuan jikalau satu orang bikin huru-hara dengan mulut atau kelakuan atau dengan lain hal sebab jadi satu kecideraan atau kemaluan di dalam itu kampung. Dengan sebab itu hal maka didenda 2 sampai 24; tiga bagian kepada yang mendakwa, satu bagian kepada kepalanya di situ dan sedangkan penguat jikalau satu perempuan yang sudah bertunangan dengan satu laki-laki, kemudian tidak jadi, maka itu perempuan mungkir jadi kawin dengan lain orang maka jikalau itu perempuan tidak jadi berkawin kepada tunangan lama dengan sebab laki-laki yang kedua punya perbuatan dan akal, maka itu laki-laki didenda 2 sampai 24 separuh kepada yang punya tunangan dan separuh kepada kepalanya (Wieringa, 1990:98-100).

Di antara penguasa-penguasa pulau Bangka yang berhasil dalam pembinaan dan pemberlakuan adat istiadat dan lembaga adat di samping Bupati Nusantara dan Penembahan Serpu dari Kesultanan Banten, adalah sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam, Kiai Mas Hindi Pangeran Kesumo Abdurrohim bergelar Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam (memerintah Tahun 1659-1706 Masehi). Pada Tahun 1667 Masehi diterbitkan dan diberlakukanlah hukum adat untuk pulau Bangka yang dinamai dengan Undang Undang Sindang Mardika. Sebagai pusat pengaturan Undang Undang Sindang Mardika berada di Kota Mentok dan dikepalai oleh seorang yang bergelar Menteri Rangga yang diangkat oleh sultan. Sebagai Menteri Rangga yang pertama di Kota Muntok pulau Bangka adalah Encek Wan Usman (Karim, dkk, 1996:8).

Pada prinsipnya Undang Undang Sindang Mardika disusun berdasarkan ketentuan ketentuan lama dari adat istiadat yang berlaku sebelumnya di pulau Bangka dan aturan tersebut disempurnakan oleh Sultan Palembang Darussalam Kiai Mas Hindi Pangeran Kesumo Abdurrohim bergelar Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam sesuai dengan ketentuan ketentuan yang juga berlaku umum di Kesultanan Palembang.

Pada masa Susuhunan Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi), pembinaan dan pemberlakuan adat istiadat dan lembaga adat di pulau Bangka dilaksanakan oleh seorang tumenggung yang diangkat oleh Sultan Palembang dengan kedudukan yang sama dengan tumenggung yang ada di Palembang. Pada waktu itu diangkatlah tumenggung pertama di pulau Bangka bernama Abang Pahang salah seorang cucu dari Encek Wan Abdul Hayat (Lim Tau Khian) atau anak dari Encek Wan Abdul Khalik. Sebagai tumenggung, Abang Pahang memerintah pulau Bangka dengan gelar Tumenggung Dita Menggala dan berkedudukan di Kota Muntok.

Sultan Palembang Darussalam juga mengangkat pemimpin-pemimpin rakyat di bawah tumenggung yaitu beberapa depati dan di bawah depati diangkatlah beberapa krio, ngabehi (untuk pulau Belitung), dan beberapa jabatan batin. Di samping jabatan-jabatan tersebut sultan juga mengangkat para penghulu, imam dan chatib serta kadhi untuk pembinaan masyarakat, adat istiadat dan pengaturan agama Islam.

Undang Undang Sindang Mardika lebih ditujukan pada daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam yang berada di luar wilayah ibukota kesultanan atau di luar Palembang. Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan dan penduduk di daerah Sindang memperoleh status Mardika (merdeka atau bebas). Tugas utama penduduk daerah perbatasan adalah menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171). Untuk hukum adat di daerah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam yang disebut sikap dan kepungutan yang berada di pedalaman atau daerah uluan Palembang diberlakukan Undang-undang yang disebut Simbur Cahaya. Undang-undang Simbur Cahaya disusun pada masa Palembang masih berbentuk kerajaan di bawah pemerintahan Pangeran Sedo ing Pasarean (memerintah 1642-1643 Masehi) dan selanjutnya Undang-undang Simbur Cahaya kemudian diperbarui pada masa Kesultanan Palembang Darussalam di bawah pemerintahan Kiai Mas Hindi Pangeran Kesumo Abdurrohim bergelar Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam.

(Editor : Mohammad Yusuf/sumber: Masyarakat dan Budaya Bangka, Tins Gallery Woonhuis te Pangkalpinang. Dato’ Akhmad Elvian, DPMP)